POKOK-POKOK
PIKIRAN DALAM REVISI UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA *
Oleh: ADI WARMAN,
SH., MH., MBA.**
Pembaharuan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai Lembaga Negara yang berkaitan dengan kekuasaan di bidang Kehakiman, harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dilaksanakan secara merdeka dan bertanggung jawab. Kejaksaan harus tetap diletakkan dalam rangka system Presidensil sebagaimana tercermin dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar “.
Dalam draft
Rancangan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia yang saya peroleh,
setidak-tidaknya ada 12 point pokok pikiran yang bisa disampaikan pada acara
dengar pendapat umum tentang Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas
Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dihadapan
yang terhormat para anggota dan pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia. Dan sebelum masuk kedalam substansi pembahasan, izinkan
saya menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kepercayaan / undangan yang
disampaikan kepada saya, semoga apa yang saya akan sampaikan bermanfaat.
Adapun
ke-12 point pokok pikiran tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Dalam
Pasal 1 perlu adanya ketegasan tentang Jaksa
atau Kejaksaan yang dapat bertindak untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah
dibidang Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, perlu penambahan definisi Jaksa
sebagai Pengacara Negara dalam draft Pasal 1 butir 1, sehingga berbunyi menjadi
sebagai berikut :
Dalam
Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan :
(1) Jaksa adalah Pejabat Fungsional yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum Perkara
Pidana dan sebagai Pengacara Negara dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara serta sebagai pelaksana Putusan Pengadilan Pidana yang telah memperoleh kekuatan
Hukum tetap ( serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang sebaiknya
dihapus agar tidak jadi area abu-abu ). Dan ditambah satu poin lagi tentang
pengertian Pengacara Negara, yaitu :
(6) Pengacara
Negara adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
bertindak atas nama Negara atau Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha
Negara.
( Dalam
draft Rancangan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (2)
hanya menyinggung dibidang Perdata dan
Tata Usaha Negara Kejaksaan dengan
kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar Pengadilan untuk dan
atas nama Negara atau Pemerintah ).
2. Ketentuan
Pasal 2 ayat (3) ditambah dengan kalimat “dan bertanggung jawab”, sehingga
berbunyi :
(2) Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan secara merdeka dan bertanggungjawab.
3. Ketentuan
Pasal 9 ayat (2) huruf h, yang berbunyi : “
Aparatur Sipil Negara dibidang Kekuasaan Kehakiman “ HARUS
DIHAPUS karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat
(2), yang berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi “.
4. Ketentuan
Pasal 13 huruf e, yang berbunyi :“
melakukan perbuatan tercela“ harus
ada penjelasan yang pasti tentang perbuatan apa saja yang masuk kategori
perbutan tercela agar tidak jadi “ Pasal karet “ atau “ area abu-abu“ atau
multi tafsir.
5. Ketentuan
Pasal 14 ayat (1), yang berbunyi : “ Jaksa
yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya
diberhentikan sebagai aparatur sipil negara dibidang kekuasaan kehakiman ” kalimat
sebagai aparatur sipil Negara dibidang kekuasaan kehakiman HARUS
DIHAPUS karena bertentangan dengan
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ( Vide Point 3 diatas ).
6. Pasal 19
ayat (2), yang berbunyi : “Jaksa Agung
diangkat oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR dalam suatu uji
kelayakan”, sebaiknya dihapus karena persetujuan DPR dalam suatu uji
kelayakan merupakan pelemahan sistem Presidensil sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dan kita harus berani berkata jujur
dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia saat ini, terlihat jelas ambisi partai politik
untuk menguasai semua lembaga Negara, padahal normatifnya partai politik hanya
ada di parlemen dan terlibat dalam pemilihan Presiden dan Kepala Daerah, tidak
seperti sekarang ini hampir semua jabatan publik, seperti komisioner KPK, KPPU,
KY, LPSK, Direktur Utama BUMN dan lain-lain, terbukti partai politik ikut ambil
bagian. Bahkan jabatan Hakim Agung pun harus melalui Fit and Proper Test DPR,
yang dapat dipastikan peran fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik
sangat berpengaruh dalam proses pemilihan tersebut. Ini sangat berbahaya dalam
sistem hukum Tata Negara Presidensil yang kita anut dan harus dihindari.
7. Pasal 20
huruf e, yang berbunyi : “ harus lulus
uji kelayakan yang dilakukan oleh DPR” (vide point 6 tersebut di atas).
8. Ketentuan
Pasal 22 ditambah satu ayat tentang “
limit waktu normal masa bhakti Jaksa Agung Republik Indonesia “ agar ada
kepastian hukum seperti halnya masa jabatan menteri yang mengikuti jabatan
Presiden yang mengangkatnya.
9. Ketentuan
Pasal 30 ayat (1) huruf e, yang berbunyi : “
Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan Penyidik“. Uraian ayat ini sudah masuk ke dalam ranah hukum Acara Pidana,
sebaiknya dihapus dan seharusnya dimuat dalam KUHAP.
10. Pasal 35
ayat (1) huruf d dan e, yang berbunyi : “
(d) mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dengan persetujuan
lembaga-lembaga negara yang mempunyai hubungan dengan perkara tersebut,
termasuk dan tidak terbatas pada DPR, Presiden, dan/atau Mahkamah Agung, (e) mengajukan kasasi demi
kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, ………….“ HARUS
DIHAPUS, karena sudah masuk ranah
hukum Acara Pidana dan seharusnya dimuat dalam KUHAP.
11. Ketentuan
Bab III A tentang Komisi Kejaksaan sebaiknya dihapus, dengan alasan hukum :
1. Komisi
Kejaksaan bukan bagian sub system internal Kejaksaan. Hal ini dibuktikan dengan
pertanggung jawabannya langsung kepada Presiden.
2. Komisi
Kejaksaan Lembaga yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat
mandiri.
3. Tidak
sejalan dengan Pasal 38 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, yang berbunyi : “ Untuk
meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi
yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden “. ( Pasal ini dalam
draft Rancangan Undang-Undang ini tidak dirubah ) sebaiknya pasal tersebut diubah
menjadi : “ Untuk meningkatkan kualitas
kinerja Kejaksan dan menjamin profesionalisme dan kemandirian Jaksa dapat
dibentuk Komisi Kejaksaan yang tata cara, susunan dan kewenangannya diatur lebih
lanjut oleh Peraturan Pemerintah “.
4. Saat ini
Komisi Kejaksaan hanya diatur oleh Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.
12. Ketentuan
BAB III C ketentuan Pidana sebaiknya diperberat karena Jaksa adalah Penegak
Hukum.
Demikian
pokok-pokok pikiran ini disampaikan, kurang lebihnya saya mohon ma’af. Atas
perhatiannya saya sampaikan terimakasih.
________________________________________________________________
*
|
Disampaikan pada Acara Dengar Pendapat Umum
Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia pada tanggal 27 November
2012 di Hotel Atlet Century Park,
Jakarta.
**
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar