Sidang PHPU Sulsel di MK

Sidang di DKPP

Senin, 26 November 2012

ARTIKEL

POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM REVISI UNDANG-UNDANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA *

Oleh: ADI WARMAN, SH., MH., MBA.**

Adi Warman, SH, MH, MBA saat menjadi narasumber dalam
Acara Rapat Dengar Pendapat Umum di Komite I
Dewan Perwakilan Daerah RI, Selasa 27 November 2012
bertempat di Hotel Atlet Century Park Senayan
Tentang RUU Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan RI

Suasana Dialog pada acara Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI
Tentang RUU Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI
bertempat di Hotel Atlet Century Park Senayan Selasa 27 November 2012

                                                                                                                           Pembaharuan Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia ini dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai Lembaga Negara yang berkaitan dengan kekuasaan di bidang Kehakiman, harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dilaksanakan secara merdeka dan bertanggung jawab. Kejaksaan harus tetap diletakkan dalam rangka system Presidensil sebagaimana tercermin dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi : “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar “.


Dalam draft Rancangan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia yang saya peroleh, setidak-tidaknya ada 12 point pokok pikiran yang bisa disampaikan pada acara dengar pendapat umum tentang Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dihadapan yang terhormat para anggota dan pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Dan sebelum masuk kedalam substansi pembahasan, izinkan saya menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kepercayaan / undangan yang disampaikan kepada saya, semoga apa yang saya akan sampaikan bermanfaat.

Adapun ke-12 point pokok pikiran tersebut, adalah sebagai berikut :

1.     Dalam Pasal 1 perlu adanya  ketegasan tentang Jaksa atau Kejaksaan yang dapat bertindak untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah dibidang Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, perlu penambahan definisi Jaksa sebagai Pengacara Negara dalam draft Pasal 1 butir 1, sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan :

(1)      Jaksa adalah Pejabat Fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum Perkara Pidana dan sebagai Pengacara Negara dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara serta sebagai pelaksana Putusan Pengadilan Pidana yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap ( serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang sebaiknya dihapus agar tidak jadi area abu-abu ). Dan ditambah satu poin lagi tentang pengertian Pengacara Negara, yaitu :

(6) Pengacara Negara adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak atas nama Negara atau Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara.

( Dalam draft Rancangan Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 30 ayat (2) hanya menyinggung dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar Pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah ).

2.     Ketentuan Pasal 2 ayat (3) ditambah dengan kalimat “dan bertanggung jawab”, sehingga berbunyi :
(2)    Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka dan bertanggungjawab.

3.     Ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf h, yang berbunyi : “ Aparatur Sipil Negara dibidang Kekuasaan Kehakiman “  HARUS DIHAPUS karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi “.

4.     Ketentuan Pasal 13 huruf e, yang berbunyi :“ melakukan perbuatan tercela“  harus ada penjelasan yang pasti tentang perbuatan apa saja yang masuk kategori perbutan tercela agar tidak jadi “ Pasal karet “ atau “ area abu-abu“ atau multi tafsir.

5.     Ketentuan Pasal 14 ayat (1), yang berbunyi : “ Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan sebagai aparatur sipil negara dibidang kekuasaan kehakiman ” kalimat sebagai aparatur sipil Negara dibidang kekuasaan kehakiman  HARUS DIHAPUS  karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ( Vide Point 3 diatas ).

6.     Pasal 19 ayat (2), yang berbunyi : “Jaksa Agung diangkat oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR dalam suatu uji kelayakan”, sebaiknya dihapus karena persetujuan DPR dalam suatu uji kelayakan merupakan pelemahan sistem Presidensil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dan kita harus berani berkata jujur dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia saat ini, terlihat jelas ambisi partai politik untuk menguasai semua lembaga Negara, padahal normatifnya partai politik hanya ada di parlemen dan terlibat dalam pemilihan Presiden dan Kepala Daerah, tidak seperti sekarang ini hampir semua jabatan publik, seperti komisioner KPK, KPPU, KY, LPSK, Direktur Utama BUMN dan lain-lain, terbukti partai politik ikut ambil bagian. Bahkan jabatan Hakim Agung pun harus melalui Fit and Proper Test DPR, yang dapat dipastikan peran fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik sangat berpengaruh dalam proses pemilihan tersebut. Ini sangat berbahaya dalam sistem hukum Tata Negara Presidensil yang kita anut dan harus dihindari.

7.       Pasal 20 huruf e, yang berbunyi : “ harus lulus uji kelayakan yang dilakukan oleh DPR”  (vide point 6 tersebut di atas).

8.       Ketentuan Pasal 22 ditambah satu ayat tentang “ limit waktu normal masa bhakti Jaksa Agung Republik Indonesia “ agar ada kepastian hukum seperti halnya masa jabatan menteri yang mengikuti jabatan Presiden yang mengangkatnya.

9.     Ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf e, yang berbunyi : “ Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Penyidik“. Uraian ayat ini sudah masuk ke dalam ranah hukum Acara Pidana, sebaiknya dihapus dan seharusnya dimuat dalam KUHAP.

10.    Pasal 35 ayat (1) huruf d dan e, yang berbunyi : “ (d) mengesampingkan perkara demi kepentingan umum dengan persetujuan lembaga-lembaga negara yang mempunyai hubungan dengan perkara tersebut, termasuk dan tidak terbatas pada DPR, Presiden, dan/atau Mahkamah Agung,                  (e) mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, ………….“  HARUS DIHAPUS, karena sudah masuk ranah hukum Acara Pidana dan seharusnya dimuat dalam KUHAP.

11.    Ketentuan Bab III A tentang Komisi Kejaksaan sebaiknya dihapus, dengan alasan hukum :

1.   Komisi Kejaksaan bukan bagian sub system internal Kejaksaan. Hal ini dibuktikan dengan pertanggung jawabannya langsung kepada Presiden.

2.   Komisi Kejaksaan Lembaga yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri.

3.   Tidak sejalan dengan Pasal 38 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi : “ Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden “. ( Pasal ini dalam draft Rancangan Undang-Undang ini tidak dirubah ) sebaiknya pasal tersebut diubah menjadi : “ Untuk meningkatkan kualitas kinerja Kejaksan dan menjamin profesionalisme dan kemandirian Jaksa dapat dibentuk Komisi Kejaksaan yang tata cara, susunan dan kewenangannya diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah “.

4.   Saat ini Komisi Kejaksaan hanya diatur oleh Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.


12.    Ketentuan BAB III C ketentuan Pidana sebaiknya diperberat karena Jaksa adalah Penegak Hukum.


Demikian pokok-pokok pikiran ini disampaikan, kurang lebihnya saya mohon ma’af. Atas perhatiannya saya sampaikan terimakasih.




                                                                                                       












________________________________________________________________­­­­­­­­­­­

*

  
Disampaikan pada Acara Dengar Pendapat Umum Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia pada tanggal 27 November 2012    di Hotel Atlet Century Park, Jakarta.


**

      Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK)   Pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kantor Advokat Adi Warman, SH, MH, MBA
Kang roni
KLIK DISINI